BELAJAR HIDUP SEPERTI SUKU BADUY

Pada bulan Juli 2023 tim peneliti dari Program Studi Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan berangkat melangkahkan kaki menuju kediaman Suku Baduy di Kabupaten Lebak Banten. Tim yang terdiri dari 3 dosen, 2 mahasiswa, dan 1 supir ini menyambangi Suku Baduy untuk meneliti terkait praktik demokrasi yang ada di Indigenous People atau Masyarakat Adat. Dalam penelitian ini Program Studi Administrasi Publik Unpar bekerja sama dengan Program Studi Administrasi Publik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). Ekspedisi yang berlangsung selama 3 hari 2 malam ini nyatanya tidak hanya memberikan pengetahuan baru mengenai praktik demokrasi di Suku Baduy tetapi juga pengetahuan mengenai kehidupan dan keilmuan Administrasi Publik.

Suku Baduy merupakan suku pedalaman asli Banten yang bermukim di Kabupaten Lebak. Pada dasarnya Suku Baduy dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar. Terdapat beberapa perbedaan antara Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam, diantaranya: 

  • Dalam aspek kehidupan Suku Baduy Luar bisa dikatakan lebih “terbuka” akan perkembangan zaman, sehingga mereka lebih terbuka akan tamu yang datang dan menginap di rumah mereka. Sedangkan Suku Baduy Dalam masih sangat menjaga “keapa adaan” yang dimiliki Suku Baduy dan jika ada tamu yang datang mereka menerapkan batasan-batasan tertentu bagi tamu yang menginap di Baduy Dalam.
  • Secara penampilan Suku Baduy Luar menggunakan pakaian berwarna hitam dengan aksen batik berwarna biru tua, sedangkan Baduy Dalam menggunakan pakaian serba putih.

Seperti yang sudah banyak diketahui oleh masyarakat, Suku Baduy memiliki aturan-aturan adat yang tidak boleh dilanggar oleh kelompok masyarakatnya. Hal-hal tersebut misalnya; pantang menggunakan alas kaki, pantang untuk menaiki kendaraan, dilarang mengenyam pendidikan formal, tidak menggunakan listrik, jaringan internet, dilarang menggunakan sabun, shampo, pasta gigi, dst. Pantangan atau larangan yang diberlakukan oleh masyarakat Baduy merupakan bentuk penghormatan mereka pada ajaran nenek moyang dan juga bentuk menjaga kelestarian alam. Bagi Suku Baduy menjalankan adat istiadat dan menghormati leluhur merupakan hal paling utama yang harus dijalankan.

Bagi kita manusia yang sedari lahir sudah dihadapkan dengan berbagai macam teknologi dan budaya modern, segala pantangan dan larangan di Suku Baduy pastinya akan sangat menyulitkan hidup. Ditambah lagi kini manusia sangat bergantung pada penggunaan listrik dan jaringan internet. Kita memandang bahwa wilayah yang belum memiliki jaringan listrik dan internet bisa dikategorikan sebagai daerah yang terbelakang dan belum sejahtera. Namun, bagi Suku Baduy hal tersebut bukanlah sebuah masalah bagi mereka ‘sejahtera’ bukanlah soal keberadaan listrik, internet, sekolah formal, dan barang modern lainnya. Bagi mereka menjaga kelestarian alam dan menjalankan adat istiadat leluhur adalah cara untuk mencapai ‘kesejahteraan’. 

Pada tanggal 27 Juli 2024 tim peneliti dari Unpar dan Untirta berkesempatan untuk melakukan FGD di Baduy Luar dan juga Baduy Dalam. Di Baduy Luar FGD dilaksanakan di kediaman Jaro Saija (Sebutan untuk pemimpin di Baduy Luar). Setelah melakukan FGD di Baduy Luar tim bergerak menuju terminal Cijahe untuk memulai perjalanan memasuki Baduy Dalam. Akses untuk menuju Baduy Dalam hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, sehingga tim perlu untuk berjalan membelah perbukitan dan hutan untuk sampai di Baduy Dalam. Tim berangkat menuju Baduy Dalam sekitar pukul 16.00, perjalanan kami tempuh sekitar 1,5 – 2 jam dari terminal Cijahe hingga ke Kampung Cibeo. 

Sesampainya di Kampung Cibeo hari sudah mulai gelap tak banyak aktivitas masyarakat yang bisa kami lihat di sana hanya satu atau dua orang yang berlalu-lalang dan tersenyum ke arah kami. Di malam itu kami akan menginap di rumah Ayah Nasa, begitu panggilan Suku Baduy untuk seorang lelaki yang sudah memiliki anak. Setelah beristirahat sejenak di depan rumah kami mengikuti Ayah Nasa pergi ke sungai untuk mencuci beras. Letak sungai tidak terlalu jauh dari kediamannya akan tetapi suasana gelap di Kampung Cibeo bisa membuat kami tersesat jika tertinggal dari rombongan. Tak ada satupun cahaya lampu yang menerangi, Suku Baduy dalam hanya menggunakan lentera sebagai sumber cahaya itu pun penggunaannya terbatas. 

Setelah semua anggota tim sudah selesai bersih-bersih kami semua menyantap makan malam yang sudah disiapkan oleh Ambu (panggilan untuk Ibu di Baduy). Kami menyantap ikan asin, nasi, dan mie walaupun hanya dengan menu sederhana tetapi kami begitu menikmati makan malam tersebut. Tidak distraksi dari alat elektronik ataupun gadget kami hanya fokus makan sambil bersenda gurau satu sama lain. Setelah makan kami juga disuguhkan air hangat dan teh yang dihidangkan menggunakan gelas bambu. Meski harus makan dengan kondisi yang terbatas tetapi itu menjadi salah satu makan malam paling memorable bagi kami. 

Setelah makan malam kami segera bersiap untuk melaksanakan FGD dengan masyarakat Baduy Dalam. Selama ekspedisi Suku Baduy ini kami dibantu oleh Kang Sofyan yang pada FGD ini juga membantu kami untuk memoderatori diskusi. Sebagian tim bertindak sebagai penanya dan sebagian lagi sebagai notulen FGD. Satria dan Muthia yang bertindak sebagai notulen harus menjalankan tugasnya dengan menuliskan semua hasil FGD di buku sebab di lingkungan Baduy Dalam tidak diperbolehkan menggunakan alat elektronik apapun. Tak hanya itu tamu yang datang ke Baduy Dalam pun tidak boleh mendokumentasikan apapun yang ada di Baduy Dalam, jika hal itu dilanggar maka akan ada konsekuensi yang harus diterima. Kegiatan FGD selesai dan kami kembali lagi ke rumah Ayah Nasa untuk beristirahat mempersiapkan diri kembali ke terminal Cijahe besok pagi.

Esok paginya setelah semua tim bangun kami berjalan menikmati pagi di Kampung Cibeo. Kami pergi ke sungai untuk membasuh muka dan menyikat gigi menggunakan siwak. Suasana pagi di Baduy Dalam begitu tenang dan menyegarkan, terlihat beberapa masyarakat Baduy Dalam yang bersiap untuk pergi ke ladang. Setelah kami pergi ke sungai kami duduk di depan gubuk milik salah satu warga Cibeo, di sana pemiliknya pun sedang memanaskan air di atas api dari kayu bakar. Kami semua mendekat mengelilingi api yang menyala, sembari mengobrol dan menghangatkan badan. Ketenangan dan kehangatan yang ada di Suku Baduy memang sudah jarang ditemui di daerah perkotaan. Di Baduy Dalam jauh dari suara bising kendaraan, polusi, dan sifat-sifat individualis manusia. Di sana semua hidup rukun, saling membantu satu sama lain, dan sangat menjaga kelestarian alam.

Meskipun terdapat perbedaan cara hidup antara masyarakat Baduy dengan masyarakat pada umumnya, hal tersebut tidak membuat salah satu diantara kita menjadi lebih rendah atau lebih agung dibanding satu sama lain. Seperti yang disampaikan oleh Drs. Pius Sugeng Prasetyo yang juga terlibat dalam ekspedisi Suku Baduy ini  “Sebagai seorang akademisi kita mempunyai idealisme tertentu yang mungkin lebih dari yang mereka pikirkan dan lakukan, tapi basis filosofis mereka bisa menjadi basis filosofi kita di dalam mengimplementasikan values, kemampuan, dan kompetensi yang kita miliki sebagai seorang akademisi yang ingin mengkontribusikan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan lingkungan.” 

Merasakan hidup berdampingan bersama Suku Baduy sangat membukakan mata dan pikiran. Selama ini kita sangat bergantung pada hal-hal tertentu seperti listrik, internet, gadget, kendaraan, dst. akan tetapi setelah mencoba bermalam di Baduy Dalam hal-hal tersebut seakan tiada artinya. Masyarakat di sana dapat hidup bahagia, tenang, tentram tanpa menggunakan teknologi modern tersebut. Mereka hanya fokus pada menjalankan ajaran leluhur, melestarikan alam, dan menjalankan adat-istiadat. Berbeda dengan manusia atau masyarakat modern pada umumnya yang memiliki banyak ambisi, dibebankan dengan ekspektasi, dan dipaksa harus mengikuti perkembangan zaman.

Muthia Zahira Rachman
Mahasiswa Program Studi Sarjana Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Katolik Parahyangan