Sumber: theverge.com
Artificial Intelligence atau Kecerdasan Buatan sedang menjadi topik hangat dan banyak dibicarakan karena banyaknya manfaat yang ditawarkannya bagi kehidupan manusia, seperti meningkatkan efisiensi, produktivitas, kualitas pelayanan, sumber daya manusia, dan kualitas hidup manusia. Kaya manfaatnya AI telah diimplementasikan dalam berbagai sektor, termasuk dalam dunia industri, pendidikan, kesehatan, hukum, dan militer. Dalam bidang kesehatan mental, manfaat AI telah diprediksi gambarannya melalui film rilisan 2013 bertajuk ‘Her’, yang menceritakan kisah seorang penulis bernama Theodore yang mengalami depresi dan kesepian setelah ditinggal bercerai oleh istrinya, lalu Theodore memutuskan membeli sistem operasi yang dilengkapi kecerdasan buatan yang sangat pintar dan responsif bernama Samantha, dan akhirnya Theodore dapat melalui masa-masa suramnya dengan memanfaatkan Samantha sebagai teman bicara yang sampai akhirnya Theodore jatuh cinta kepada Samantha. Film tersebut dirilis jauh sebelum fenomena AI menjadi booming saat ini, namun film tersebut telah memperkirakan secara visioner betapa kuatnya kecerdasan buatan sebagai pencari solusi bagi umat manusia. Faktanya, dalam jurnal Psychiatric Services yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association menyebutkan bahwa AI memang positif memainkan peran penting dalam menangani kesehatan mental dunia saat ini. Belum lagi banyak film-film atau karya-karya fiksi lainnya yang telah menunjukkan sebegitu bermanfaatnya AI dalam kehidupan manusia. Meskipun begitu, penggunaannya tetap harus dikendalikan dengan baik agar tidak menimbulkan dampak negatif pada kehidupan manusia. Kemungkinan-kemungkinan dampak negatif yang saat ini menghantui manusia telah menciptakan momok baru di berbagai negara, dengan stereotip yang muncul bahwa “AI saat ini berkembang menakutkan”, “kehadiran AI menurunkan literasi digital manusia”, “AI dan robot menggantikan pekerjaan manusia dan menggusur eksistensi manusia”, dan masih banyak lainnya.
Bahasan AI Menghangati Publik, Namun Tidak Menyemangati Publik?
Sebagian besar masyarakat dunia khawatir bahwa AI bisa menjadi seperti Skynet dalam film Terminator, yang digambarkan bahwa pengembangan akhir dari keberadaan kecerdasan buatan adalah untuk menghancurkan umat manusia. Sampai-sampai ada yang berpendapat bahwa kehancurannya lebih besar jika dibandingkan dengan perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini. Jangankan perubahan iklim, Elon Musk pun memberikan pernyataan secara gamblang bahwa AI bisa jadi lebih berbahaya daripada senjata nuklir. Hal-hal ini membuat banyak orang skeptis terhadap penggunaan teknologi AI dalam kehidupan sehari-hari. Kekhawatiran tersebut memang lambat laun telah terjadi satu-persatu seperti tergantinya karyawan-karyawan di berbagai perusahaan di penjuru dunia oleh eksistensi AI, warga-warga dunia semakin malas membaca menunjukkan tingkat literasi manusia yang menjadi menurun karena adanya bantuan AI, banyak kecurangan dan penyalahgunaan terjadi di dunia akademik ketika manusia menggunakan AI tanpa aturan yang jelas, dan masih banyak lainnya. Angan-angan menyemangati, AI malah menghantami penciptanya sendiri. Oleh karena itu, pengendalian yang tepat perlu dilakukan agar penggunaan AI tetap bermanfaat bagi kehidupan manusia dan tidak merugikan. Meskipun perlu diingat bahwa gambaran Skynet dalam film Terminator yang mengancam kehidupan manusia adalah fiktif dan bukan representasi eksistensi dari diciptakannya AI yang sebenarnya, namun kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan, apakah penggambaran film tersebut akan benar-benar terjadi atau tidak, dengan begitu manusia perlu secepatnya berperan dalam melakukan beberapa perencanaan antisipatif untuk menanggulangi gejala-gejala masalah yang ada, dan menciptakan AI sebagai support system manusia, bukan lawan manusia.
“Humans, who are limited by slow biological evolution, couldn’t compete and would be superseded.”
Stephen Hawking
AI diciptakan sebagai alat yang membawa manfaat pada hidup manusia, bukan untuk menjadi alat yang merugikan bagi hidup manusia. Kita sebagai manusia harus dapat memanfaatkan AI dengan bijak, sehingga tidak akan tergantikan oleh AI, yang sebaliknya AI justru membantu produktivitas manusia. Hal tersebut dapat tercapai apabila seluruh stakeholders terlibat dapat membantu menghilangkan bias pada manfaat AI. Siapa sajakah stakeholders yang dimaksud?
1. Pemerintah, yang memainkan peran yang sangat penting dalam pengembangan, penggunaan, dan regulasi terhadap eksistensi AI. Pemerintah menjadi aktor kebijakan, aturan, dan regulasi untuk mengontrol penggunaan AI dan memastikan bahwa teknologi AI dapat digunakan secara etis dan tidak merugikan masyarakat.
2. Para pengembang dan peneliti, yang bertanggungjawab untuk mengembangkan AI yang aman, andal, dan terpercaya, tanpa ada ancaman untuk umat manusia sebagai yang menciptakan AI.
3. Pihak industri atau perusahaan, yang memastikan bahwa AI digunakan sesuai dengan semestinya, tidak merugikan lingkungan dan masyarakat, mengedepankan penggunaan dengan prinsip keadilan, transparansi, privasi dan keamanan, serta memfasilitasi pelatihan dan pengembangan SDM yang dibutuhkan dalam penggunaan AI.
4. Masyarakat, yang berperan penting untuk dapat memahami dan menggunakan AI dengan baik dan bijaksana. Masyarakat berhak diberikan penndidikan maupun regulasi agar dapat saling mengawasi penggunaan AI.

Sumber: mindmatters.ai
Society 5.0: Era Personalisasi Kecerdasan Buatan
Dalam menyambut era Personalisasi 5.0, di mana teknologi semakin maju dan tidak bisa terhindarkan, sudah semestinya manusia melek digital agar terus bisa bertahan dan berkembang pada perkembangan zaman yang ada. Pada era personalisasi ini, penggunaan AI dapat membantu manusia dalam menghadapi berbagai masalah kompleks yang sulit diatasi oleh kecerdasan manusia semata, seperti peramalan cuaca, diagnosis penyakit, atau bahkan pembuatan keputusan sektor publik maupun sektor bisnis yang kompleks. Namun, di sisi lain, perlu juga diingat bahwa penggunaan AI tidak sepenuhnya tanpa risiko. Salah satu risiko yang muncul adalah kekhawatiran bahwa penggunaan AI dapat menggantikan pekerjaan manusia dan menyebabkan pengangguran, tidak hanya di Indonesia, namun di seluruh penjuru dunia. Faktor etis dan sosial sangat memegang peranan penting dalam mengoptimalkan keberadaan AI dan menghindari dampak negatif pada kehidupan manusia di era personalisasi ini. Yang pertama perlu dipastikan secara etis dan sosial adalah perihal penggunaan maupun keberadaan AI agar tidak melanggar etika dan hak asasi manusia. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengembangan standar etika dan regulasi yang jelas dalam penggunaan AI. Selain itu, kita harus memastikan bahwa AI tidak menyebarkan prasangka dan diskriminasi yang dapat merugikan kelompok tertentu. Yang kedua, kita perlu mengembangkan kemampuan yang tidak dimiliki AI untuk bisa bersaing dengan AI, dan kemampuan yang perlu kita kembangkan lebih baik lagi berada pada aspek kreativitas dan empati. Aspek kreativitas dan empati manusia tidak dapat tergantikan oleh AI dan menjadi nilai tambah bagi kita agar tidak tergantikan oleh AI. Lalu yang ketiga adalah, kita perlu memanfaatkan AI sebagai alat atau media untuk meningkatkan kualitas hidup dan pelayanan publik, bukan dimanfaatkan sebagai pengganti manusia dalam konteks pekerjaan atau hubungan sosial. Oleh karena itu, pengembangan AI perlu dilakukan dengan mempertimbangkan faktor etis dan sosial, serta memperhatikan dampaknya terhadap kehidupan manusia secara keseluruhan. Untuk menghindari AI menjadi momok dan terminator bagi umat manusia, perlu ada perencanaan strategis, pengawasan dan evaluasi yang matang yang dapat dihadirkan oleh pemerintah untuk masyarakat di berbagai kalangan dengan memperhatikan manajemen yang adhokratif pada setiap level organisasi di mana setiap organisasi mampu fleksibel dan mudah beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang ada. Serta tak luput pemerintah harus melakukan formulasi kebijakan terhadap penggunaan AI agar tidak terjadi pelanggaran atau kriminalitas.
Dibalik AI yang Bermaslahat, Terdapat Pengguna yang Hebat
Sebagai kesimpulan, AI bukanlah Skynet yang digambarkan pada film Terminator, dan penggunaannya harus diarahkan untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Kita harus belajar untuk memanfaatkan teknologi AI sebaik mungkin, tanpa kebablasan dalam penggunaannya atau bahkan terlintas untuk menghindari atau meniadakan eksistensi AI, ibarat “ceplok pindah ke lubang, pindah pula keraknya”, di mana jika kita menghindari AI dengan menganggapnya sebagai masalah tanpa menemukan solusi yang tepat, maka AI tercipta menjadi tidak berguna, sia-sia, dan keberadaan masalahnya akan terus bermunculan. Dengan demikian, jika kita mampu menghadapi AI dengan penyikapan yang tepat, maka justru AI akan membawa maslahat bagi manusia, bukan menjadi terminator yang memberikan mudarat bagi manusia.

Muhammad Maulidza
Dosen Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Katolik Parahyangan