KULIAH UMUM & BEDAH BUKU “ALDERA: POTRET GERAKAN POLITIK KAUM MUDA 1993-1999”

Aliansi Demokrasi Rakyat (ALDERA) merupakan sebuah potret dari gerakan politik kaum muda dalam rangka menegakkan demokrasi di rezim Soeharto kala itu. Dalam rangka kembali mengingat kilas balik perjuangan ALDERA, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Katolik Parahyangan bekerja sama dengan Yayasan Aldera bersama dukungan dari Penerbit Kompas, Tribun Jabar, Bank Indonesia, dan alumni Unit Studi Kemasyarakatan (USIK UNPAR) mengadakan Kuliah Umum & Bedah Buku “ALDERA: Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999” pada tanggal 7 Desember 2022 di Ruangan Auditorium lt. 2 PPAG Universitas Katolik Parahyangan. Acara ini turut menghadirkan beberapa tokoh penting seperti Dr. Pius Lustrilanang, S.IP, M.Si, CFRA, CFSA selaku inisiator ALDERA, Bapak Mangadar Situmorang, Ph.D selaku Rektor Universitas Katolik Parahyangan, Dekan FISIP Dr. Pius Sugeng Prasetyo, Dekan Fakultas Hukum Dr. Iur Liona Nanang Supriatna dan Ketua Jurusan HI FISIP UNPAR, Elisabeth Dewi, Ph.D sebagai pemateri.

Auditorium yang penuh menandakan antusias para hadirin oleh acara kali ini. Paduan Suara Mahasiswa UNPAR membuka acara dengan menyanyikan lagu Halo-Halo Bandung, kemudian dilanjutkan dengan penampilan tarian Rampak Gendang dari Klub Seni Tari LISTRA yang sukses mendapatkan tepuk tangan meriah dari para hadirin. Tak lupa, hadirin juga diajak untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dan diakhiri dengan persembahan nyanyian Hymne UNPAR. Acara inti dimulai dengan pemaparan materi yang dimoderatori oleh jurnalis Kompas TV, Vidaa Alatas yang sebelumnya mengutip perkataan Tan Malaka, “Idealisme adalah barang mewah yang hanya dimiliki oleh para pemuda” sebagai pemantik dari obrolan materi kali ini.  Pemaparan pertama oleh Dekan FISIP Pius Sugeng Prasetyo, dimana beliau menyatakan bahwa para pemuda saat ini harus memiliki kegelisahan dan keberpihakan. Kegelisahan mengenai masalah atau isu yang ada saat ini, dan keberpihakan dimana memilih untuk menyuarakan pendapat, menolak untuk bungkam. Beliau melanjutkan bahwa diperlukan ruang publik untuk membuka jalan agar para pemuda khususnya mahasiswa dapat menyuarakan pendapatnya dan menyalurkan solidaritas seperti apa yang pernah terjadi di ALDERA. Dengan keberadaan ruang publik ini akan turut mengembangkan responsivitas masyarakat terhadap isu-isu publik yang berkembang pada masa sekarang. 

Beralih dari Bapak Pius Sugeng, Dekan Fakultas Hukum yakni Dr. Iur Liona turut memaparkan materinya yang berkaitan dengan supremasi hukum, dimana supremasi hukum bertujuan agar terdapat kesetaraan di mata hukum, mencegah praktik penyalahgunaan kekuasaan, menjamin kemerdekaan individu yang dimana mengacu pada ALDERA sebagai salah satu gerakan politik kaum muda saat itu.  Beliau menegaskan bahwasannya mahasiswa yang terlibat dalam ALDERA saat itu tidak memiliki rasa takut untuk melawan pemerintah dengan menyuarakan pendapat mereka, mewakili hak-hak masyarakat dengan tingkat kepedulian mereka terhadap isu sosial. ALDERA sebagai sebuah gerakan politik juga fokus terhadap tujuan yang hendak dicapai, merupakan salah satu revolusi mental dimana pemuda memiliki ketangguhan dalam prinsip dan dapat dijadikan contoh bagi mahasiswa saat ini untuk menghadapi masalah yang akan datang dikemudian hari. Pemaparan materi ditutup oleh Ibu Elisabeth selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional UNPAR yang membahas mengenai “ALDERA dan Teori Pembangunan Dunia”. “ALDERA terdiri dari tokoh manusia-manusia yang berani, namun takut pada Ibu” ujar Beliau yang terinspirasi dari Buku ALDERA di halaman 93 sukses mengundang tawa dari para hadirin. Beliau melanjutkan bahwa meskipun tokoh ALDERA berani menyuarakan pendapatnya, mereka masih menjadi sosok yang takut kepada Ibu, dan hal ini merupakan sesuatu yang bagus. Tidak hanya membahas mengenai Ibuisme, Ibu Elisabeth juga menyatakan bahwa ada banyak kolaborasi dari LSM yang pada saat itu turut membantu ALDERA dalam membela rakyat. Terdapat banyak tantangan saat itu, namun komunikasi dan koordinasi menjadi salah satu faktor yang membantu menemukan solusinya. Terakhir, sebagai penutup beliau memberikan pernyataan bahwa perempuan pada saat itu tidak hanya menjadi kelompok marginal saja, namun juga menjadi salah satu gelombang perubahan. 

Materi yang telah diberikan rupanya menimbulkan beberapa pertanyaan dari para hadirin. Terdapat beberapa pertanyaan menarik, salah satunya adalah, “Membicarakan mengenai gerakan politik kaum muda, sepertinya itu merupakan suatu keberulangan yang selalu terjadi. Dulunya berbicara membela hak rakyat, tetapi ketika sudah duduk di bangku ‘enak’ lupa soal rakyat dan perjuangannya dulu. Dalam hal ini siapa yang salah? Apakah akhirnya dikembalikan pada dunia pendidikan?” Pertanyaan tersebut mendapat respon dari para narasumber. Bapak Pius Lustrilanang menyatakan, “sikap kritis itu harus terus menerus dibuat. Ketika masih ada dalam dunia kampus, lebih baik pikirannya masih ‘liar’ karena belum terikat sana-sini, masih bebas,” ujar beliau. “Idealis masih menjadi hal fundamental bagi teman-teman yang hadir di sini. Dan hal itu adalah tanggung jawab bersama.” lanjut beliau. Ibu Elisabeth turut menambahkan, “Dari pada mencari siapa yang salah, alangkah lebih baik jika kita melakukan apa yang dapat kita lakukan saat ini. Kita boleh sepakat untuk tidak sepakat. Jika anda memiliki argumen, silahkan beropini. ”Sesi tanya jawab berakhir dan dilanjutkan dengan keynote oleh penggagas ALDERA, Bapak Pius Lustrilanang. Beliau menyatakan bahwa gerakan berulang itu tidak selamanya benar. “Berjuang itu tidak selamanya harus teriak di jalan” ujar beliau. Menurutnya, ketika sudah ada di dalam suatu sistem, maka akan ada pengawasan yang harus dituruti. Tidak semua aktivis yang saat itu berjuang lupa akan perjuangannya ketika sudah berada dalam posisi yang baik. Beliau juga menyatakan bahwa Bedah Buku ini menjadi ajang bagi para aktivis untuk turut kembali reuni. Beliau berpesan bahwa kita harus menjaga reformasi kita. Apa yang dialami oleh para aktivis pada masa itu mungkin akan dilupakan, tetapi dengan adanya tulisan ini membuat hal itu jadi abadi, tutur beliau sebagai kalimat penutup Kuliah Umum dan Bedah Buku di hari itu.

Negita Ceria