RAHASIA HARMONI DESA GELAR ALAM: KEARIFAN LOKAL YANG TERJAGA DI TENGAH MODERNISASI

Di era modernisasi sekarang ini, tidak mudah bagi masing-masing desa yang ada di Indonesia untuk tetap menjaga dan mempertahankan kearifan lokal dan tradisi budaya yang selama ini telah dipertahankan. Hal ini disebabkan karena semakin banyaknya informasi dan pengetahuan mengenai teknologi yang terus berkembang menjadi gangguan yang berpotensi merusak keharmonian tradisi dan adat yang ada. Namun, kami Tim Dosen dan Mahasiswa Penelitian Desa Adat Gelar Alam Administrasi Publik UNPAR 2025 yang terdiri dari Muhammad Maulidza, SAP., MPM., Dr. Pius Sugeng Prasetyo, Dinda Biavinca, Windi Julia Wulandari, dan Muhammad Andy Makruf telah menyaksikan bagaimana Desa Adat Gelar Alam berhasil tetap mempertahankan budaya leluhur mereka yang selama ratusan tahun dijaga dengan tetap mengikuti dan bahkan bersahabat dengan modernisasi. Salah satu buktinya adalah bahwa Desa Gelar Alam ini tetap menerima masuknya teknologi, sehingga dengan ini dapat membantu kehidupan sehari-hari masyarakat desa.

Pada awalnya, nama desa “Gelar Alam” bukan merupakan nama pertama yang dimiliki oleh desa adat ini. Dalam sejarahnya, terdapat beberapa nama yang pernah digunakan untuk menamai desa adat ini. Misalnya adalah “Sirnarasa” yang digunakan sebelum tahun 1980 an yang berada di Kecamatan Cisolok, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kemudian berganti nama menjadi “Linggarjati” pada tahun 1980 hingga 1984 yang berada di Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Lalu berganti nama lagi menjadi “Ciptarasa” pada tahun 1984 hingga 2000 yang bertempat di Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Setelah itu, desa ini berganti nama lagi menjadi “Ciptagelar” yaitu pada tahun 2021 hingga 2023 yang bertempat di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Hingga akhirnya pada 2023 sampai saat ini, nama “Gelar Alam” menjadi nama resmi yang digunakan sebagai desa adat yang masih mempertahankan tradisi dan budaya serta kearifan lokal yang tetap terjaga.

Pemimpin Desa Adat Gelar Alam yang sering disapa Abah Ugi dalam keseharian memimpin desa selalu berpedoman pada filosofi yang dimilikinya mengenai hidup dalam kesederhanaan. Filosofi ini memiliki makna yang dalam dalam kehidupan, khususnya bermasyarakat, sehingga hal ini penting terutama seperti para pejabat, pemerintah negara sebagai figur publik dalam memberikan keteladanan dalam hal kesederhanaan. Hal itu menjadi kunci bagi Abah Ugi dalam upaya mempertahankan tradisi desa dengan tetap mengikuti modernisasi. Misalnya penggunaan teknologi seperti sudah adanya lampu, TV, WiFi, perangkat handphone dan sejenisnya. Masyarakat disana juga tidak melarang anak-anak mereka untuk pergi keluar daerahnya untuk bersekolah dan mengenyam pendidikan maupun mencari pasangan. Semua itu dilakukan agar keberlangsungan kehidupan desa tetap terjaga bahkan terus berkembang dengan masuknya teknologi dan informasi yang tentunya dibatasi agar tidak merusak tradisi yang sudah ada.

Mengenai tradisi yang dimiliki masyarakat adat Gelar Alam, biasanya terdapat acara seren taun yang umumnya dilaksanakan setiap setahun sekali yaitu antara bulan Agustus hingga September. Seren taun merupakan tradisi tahunan yang bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat atas capaian hasil pertanian berupa doa-doa yang dipanjatkan serta memohon untuk keberkahan hasil pertanian tahun selanjutnya. Nantinya hasil panen tersebut disimpan ditempat yang bernama “Lumbung” atau “Leuit” yang masing-masing anggota keluarga memilikinya.

Selain acara doa-doa, seren taun juga sebagai bentuk silaturahmi antar masyarakat desa untuk menguatkan persaudaraan serta atraksi budaya yang berpotensi mengundang wisatawan untuk melihat kemeriahan acara tersebut sebagai pelestarian budaya. Dalam budaya pertanian, masyarakat Gelar Alam biasa menanam padi dengan cara menumbuk padi sebagai sumber utama makanan pokok yang mana tidak boleh diperjualbelikan. Selain itu, alat yang digunakan dalam menghasilkan padi juga bukan berasal dari teknologi seperti traktor, melainkan masih menggunakan teknik menumbuk sesuai tradisi yang dipertahankan.

Perjalanan panjang Desa Adat Gelar Alam menjadi cerminan bahwa desa ini memiliki kekuatan dan keyakinan bahwa budaya leluhur wajib dilestarikan meskipun seiring perkembangan zaman. Setiap pergantian nama desa ini bukan semata-mata urusan administratif dan simbolik, melainkan bagian dari proses adat yang secara bertahun-tahun dilestarikan. Setiap perubahan nama dan tempat desa ini selalu berlandaskan pada nilai-nilai spiritual yang dipercaya serta petunjuk leluhur atau “wangsit”, hal ini dilaksanakan untuk menjaga keharmonian antara masyarakat dan alam. 


Muhammad Andy Makruf
Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Katolik Parahyangan